SISTEM SELARIAN (LONDO IHA) DI SUKU BIMA

MAKALAH
SISTEM SELARIAN (LONDO IHA) DI SUKU BIMA

MATA KULIAH
HUKUM ADAT



Dosen Pengampu:
Sugiatminingsih, SH. MH


 



















Oleh:

ISWADIN
201310110311182

Kelas D






FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG (UMM)
TAHUN 2014-2015





BAB I
LATAR BELAKANG

            Nikah merupakan sesuatu yang penting yang disunnahkan oleh syari’at, dan sebaiknya segera dilaksanakan jika telah mampu. Sebab nikah bisa menjaga moralitas individu dan golongan. Ia juga menjaga anggota badan dari syubhat, fitnah, dan hal-hal yang keji dan mungkar. Oleh karenanya masyarakat yang menjaga kemurniaanya akan menjadi masyarakat yang unggul dan penuh dengan akhlak mulia, yang pada gilirannya akan terwujud dalam aturan-aturan dan nilai-nilai sosialnya yang dipegang teguh. Seperti sabda rasulullah yang artinya “ Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu berkeluarga hendaknya kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barang siapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu”.[1]
            Kawin atau nikah dalam Agama Islam merupakan fitrah manusia agar dapat memelihara jenis kelangsungan manusia, keturunan, dan menjaga ketentraman jiwa bagi manusia. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebelum melakukan perkawinan, terlebih dahulu sepasang laki-laki dan perempuan harus melalui tahap-tahap yang sudah ditentukan antara lain: peminangan (Khithbah), tunangan, mendapat restu orang tua si perempuan dan lain-lain.[2]
            Para ulama mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.
Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan tanpa disyaratkan harus adil.[3]
            Berakal dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai. Juga disyaratkan bahwa kedua mempelai mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan lainnya, baik yang bersifat permanen maupun sementara.[4]
            Yang menarik di Bima NTB ada fenomena Budaya dan Agama yang orang Bima menyebut “Londo Iha” atau dalam bahasa Indonesianya Kawin Lari atau selarian. Selarian ini merupakan suatu alternatif yang ditempuh sepasang muda-mudi jika dalam hubungan mereka tidak direstui oleh orang tua si gadis. Kawin lari yang terjadi di Bima NTB adalah merupakan suatu kebiasaan yang sudah lama terjadi dan turun temurun, tetapi bukan merupakan suatu adat. Berbeda halnya di masyarakat adat Suku Sasak di Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), bahwa kawin lari itu merupakan adat, sehingga bagi masyarakat yang akan melaksanakan perkawinan harus didahului oleh kawin lari, sehingga kawin larinya tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi tetapi orang lain ikut mengetahui kepergiannya. 

1.      Rumusan Masalah
1.      Mengapa calon mempelai  melakukan selarian (Londo Iha) ?
2.      Bagaimana cara melakukan perkawinan setelah selarian (Londo Iha) ?

2.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui mengapa calon mempelai melakukan selarian (Londo Iha).
2.      Untuk mengetahui cara melakukan perkawinan setelah selarian (Londo Iha).




BAB II
PEMBAHASAN
A.    ALASAN MELAKUKAN SELARIAN (LONDO IHA)      
            Secara etimologi londo iha berasal dari dua kata, londo yaitu turun dan iha yaitu rusak. Secara terminologi londo iha adalah menurunkan anak gadis secara sembunyi-sembunyi dari rumah orang tua si gadis kepada rumah sesepuh atau orang yang di nilai memiliki pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat.
            Pada awalnya pasangan ini waktu pacaran tidak mendapatkan restu dari salah satu orang tua baik orang tua pemuda maupun orang tua si gadis ataupun masing-masing kedua orang tua pasangan sama-sama tidak menyetujui hubungan tersebut. “londo iha” sering disebut “selarian”, sebagai jalan keluar dari keadaan bilamana salah satu pihak keluarga tidak menyetujui rencana perkawinan tersebut. Faktor-faktor lain dari selarian ini dilakukan seperti sang gadis hamil terlebih dahulu atau sebaliknya pemuda meragukan keberhasilannya bila pinangan dilaksanakan[5]. Namun yang sering terjadi biasanya orang tua si gadis tidak suka dengan calon menantunya karena perilaku dalam masyarakat dianggap negatif sehingga wujud dari tidak setujunya ialah permintaan mahar yang sangat tinggi. Sehingga mahar yang tinggi itu menjadi alasan laki-laki melakukan selarian. Si gadis tersebut ditempatkan selama 1X24 jam, pada saat itu juga pihak yang menerima selarian harus segera melaporkan ke ketua RT setempat. Keesokan harinya ketua RT akan menyampaikan kepada orang tua si gadis bahwa anak gadisnya telah londo iha dan ketua RT pun akan memberitahukan dimana gadis itu ditempatkan.

B.     CARA MELAKUKAN PERKAWINAN SETELAH SELARIAN (LONDO IHA)
            Setelah orang tua si gadis menerima laporan tersebut dilakukanlah musyawarah internal dalam kelurga si gadis. Langkah awal yang diambil adalah menghubungi orang tua pemuda agar anak mereka yang melakukan selarian (londo iha) di turunkan dari rumah yang ditempatkan. Dalam kasus ini juga terdapat penyelesaian yang baik bilamana orang tua gadis memaafkan si pemuda yang membawa lari anak gadisnya. Sebab lain yang membuat orang tua gadis memaafkan si pemuda karena anak gadis yang di bawa lari di anggap sudah tidak suci lagi sehingga untuk menjaga aib atau cemohan dari masyarakat maka pasangan yang londo iha harus segera di nikahkan.
            Tata cara pernikahan bagi mereka yang londo iha sama dengan pasangan yang tidak melakukan londo iha. Penentuan waktu karawi (acara) dalam upacara perkawinan menyangkut kerabat dari pihak laki-laki dan perempuan untuk ikut menentukan perencanaan waktu, pembiayaan, dan pelaksanaan perkawinan yang menjadi tanggungjawab keluarga. Orang tua si pemuda mengundang keluarga terdekat seperti saudara, nenek, serta kerabat lainnya untuk “mbolo keluarga” atau bermusyawarah membicarakan waktu dan segala perlengkapan perkawinan. Dalam musyawarah ini, juga dibicarakan sekitar keperluan atau biaya yang dibutuhkan yang bertujuan untuk menimbulkan partisipasi semua anggota kerabat bergotong royong memiliki biaya. Musyawarah keluarga tersebut akhirnya memutuskan pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut segera disampaikan oleh ompu panati kepada pihak keluarga si gadis. Ompu panati adalah orang yang dipercayakan oleh keluarga pemuda untuk menyampaikan segala informasi terkait dengan rencana pernikahan, mulai dari besarnya mahar yang akan dibawa oleh pemuda sampai urusan permohonan penentuan tanggal diadakan ijab kabul dan resepsi pernikahan. Dengan adanya pemberitahuan tersebut, maka keluarga pihak gadislah yang kemudian menentukan waktunya secara lebih terperinci mengenai hari dan tanggal pelaksanaannya.
            Wa’a co’i artinya upacara pengantaran barang dan uang yang menjadi maskawin dalam perkawinan. Upacara wa’a co’i selalu dihadiri oleh wakil-wakil dari calon pengantin laki-laki dan wakil dari calon pengantin perempuan dengan disaksikan oleh penghulu, kepala desa, pemuka masyarakat lainnya, serta para anggota kerabat kedua belah pihak. Upacara wa’a co’i ini dilakukan, baiknya pada pagi hari maupun sore hari, sangat tergantung jauh dekatnya rumah orang tua calon pengantin putri. Demikian pula besar anggota rombongan anggota wa’a co’i sangat tergantung dari jumlah barang yang dibawa sebagai maskawin sesuai dengan persetujuan dari kedua belah pihak keluarga calon pengantin laki-laki adalah ompu panati.



BAB III
KESIMPULAN
1.      Londo Iha atau sering disebut selarian merupakan suatu kebiasaan pasangan muda-mudi di Bima-NTB. Londo iha sebagai jalan keluar bilamana salah satu orang tua dari kedua belah pihak atau kedua-duanya tidak menyetujui anaknya untuk di nikahkan.
2.      Setelah pasangan londo iha diturunkan dari rumah yang ditempatkan si gadis selama londo iha maka selanjutnya keluarga si gadis segera menentukan tanggal dan pelaksanaan pernikahan agar menghindari fitnah atau cemohan dari masyarakat.



















[1] Athif Salam, titik temu fiqih dan theologi syiah-sunni. (Yogyakarta: Dar al-Fikr al-Islamiy) Hal. 118
[2] Sosbud, kawin lari di Bima bukanlah adat tapi kebiasaan. Dalam http://sosbud.kompasiana.com. Acces, 15 Desember 14. Jam 16.10
[3] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab. (Jakarta: Penerbit Lentera, 2012). Hal. 309-313
[4] Ibid. Hal, 315
[5] Naniksusanti, perkawinan dalam perspektif masyarakat. dalam http://naniksusanti56.blogspot.com. Acces, 17 Desember 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar